Masa Orientasi Siswa

Januari 12, 2011 Tinggalkan komentar

Bicara soal masa orientasi siswa, sapa sih yang kaga tau? Xixixi.. Kayaknya temen-temen semua pada dateng yah waktu MOS. Hope so

Masa Orientasi SiswaMasa Orientasi Siswa 

Kalo Helda, seumur hidup, cuma sekali ngikutin MOS. Hiks. Pas SMP ajah. SMA-nya kaga, karena telat sebulan masuk sekolah. *Koq bisa??? Wkekeke*. Secara Helda ituh orangnya agak-agak ngga suka dengan suasana yang bener-bener baru, kurang bisa beradaptasi bisa dikata. Dulunya, Helda ngga gitu tertarik dengan yang namanya MOS. Asli, Helda adalah salah satu siswa yang biasa-biasa ajah (pada pandangan pertama), ngga aktif daann sebagaiiinyaaa..

[-(

Walau begitu, di postingan blog remaja tentang Masa Orientasi Siswa inih, Helda senang berbagi manfaat versi Helda dari MOS. Iyaahh.. Helda nyesel deh dulu meng-underestimate-kan MOS. Haluuu, Kakak-kakak kelas Helda, maap yaa.. :P

:bz

  • Ajangnya dapetin temen baru

Iya doong.. MOS adalah waktu yang tepat! Ada banyak games, challenge, dan kegiatan yang mengharuskan kita ‘bersosialisasi’. Trus, lebih leluasa lagii. Coba kalo udah masuk sekolah, udah belajar, waahh… Udah telat dee.. Temen-temen laen dah punya gengnya masing-masing tuh. ;p

  • Kenal sama kakak kelas

Pastilah.. Bisa aja mereka agak-agak sangar pas MOS. Ya gpp de.. Tapi, ntar jadi lebih nyaman koq ke sekolah. Kalo masuk sekolah, ada yang bisa kita sapa dan senyumin kan. Jadi junior yang baek nih ceritanya. Tau ajah dan hapal nama kakak kelas, bangga lho!

  • Latihan mental

Dikerjai waktu MOS. Menurut Helda, ituh hak istimewa banget. Dulu Helda ngga berharap buat dipanggil untuk satu tantangan. Sekarang Helda nyeseell… Biar malu, tapi menyenangkan koq, sekalian buat latihan mental untuk ‘tampil ke depan’. Jadi, keinget sama temen Helda, dia kaga malu tuh untuk tampil bodoh dan jadi bahan tertawaan. Pe-de banget dah orangnya. Dia pun punya banyak temen!

  • Beradaptasi

Sesuai tujuan MOS ituh sendiri. Pembiasaan dan pengenalan kepada sekolah baru. Kayak yang udah Helda sebutin, di poin-poin sebelumnya, ituh waktu yang tepat banget! Ntar kalo udah masuk sekolah ‘normal’-nya, ngga canggung lagi kan? Udah pada tau seluk-beluk sekolah barunya.

:)>-

So, jangan diem-diem aja pas MOS yahh.. Hayuuk, jadi siswa-siswa yang kreatif dan aktif! Anyway, manfaat versi kamuh gimanah?

Yang Nyangkut dari Mesin Pencari:

masa orientasi siswacerita hot remajamasa orientasi sekolahorientasicerita hot remaja smasiswaCerita hot di sekolahcerita ml barumasa orentasi siswicerita ml dengan teman baru

Tidak ada Postingan Terkait.

Blog Remaja— Sekolah & Karir— Masa Orientasi Siswa
Tags: helda,  manfaat masa orientasi siswa,  manfaat mos,  masa orientasi sekolah,  masa orientasi sekolah sma,  masa orientasi siswa,  mos sma,  mos smp,  permainan mos,

Kategori:PSIKOLOGI

STUDY ANALISIS DI BALIK PERKEMBANGAN PSIKOLOGI REMAJA

Januari 12, 2011 Tinggalkan komentar

Mungkin fakta bahwa saya seorang imigran di Amerika Serikat membuat saya merasakan bahwa permasalahan identitas menduduki tempat utama dalam semua gangguan yang kita hadapi masa kini, mereka, para imigran pertama-tama melepaskan segala identitas nasional yang lama pada skala sangat besar untuk dapat memperoleh satu negara baru.
Kata seorang psikonalis Erik H. Erikson, oleh masyarakat Amerika memberinya julukan “Guru Masa Kini”. Bertolak dari uraian diatas bahwa. Konsep identitas dalam psikologi umumnya menunjuk kepada satu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi yang pada dasarnya tidak pernah terpisahkan meskipun terjadi perubahan-perubahan selama fase perkembangan hidup.
Orang yang dalam proses mencari identitas adalah orang yang ingin menentukan siapa dan bagaimana dia pada saat sekarang ini dan siapa atau apakah yang dia inginkan pada masa mendatang.
Jika ungkapan tersebut muncul pada diri seseorang baru pada saat itu manusia memperoleh suatu pandangan jelas tentang diri, tidak meragukan tentang identitas batinnya sendiri serta mengenal peraya dalam masyarakat, tetapi ini baru mungkin apabila ia sadar akan kelemahan dan kelebihan yang dia miliki seperti kesukaannya dan ketidak sukaannya, aspirasinya, tujuan masa depan yang di antisipasi dan perasaan bahwa dia dapat dan harus mengatur orientasi hidupnya sendiri.
Pemuda sebagai Embrio Regenerasi suatu bangsa memiliki masa adelonsia dimana pemuda untuk pertama kali secara diminitif harus menentukan siapakah dan apakah dia ketika itu dan ingin menjadi siapa dan apa dia di masa depan, (Masa Adelonsia yang sangat kental terhadap “Krisis Identitas”).
Identitas memiliki identifikasi sebagai suatu kesadaran yang dipertajam dan sebagai suatu kesatuan unik yang menjaga kesinambungan arti penjelasan di masa lampau bagi dirinya sendiri dengan orang lain. Menurut De Levita Aspek-aspek Identifikasi Identitas adalah :
– Identitas sebagai intisari seluruh kepribadian yang tetap tinggal sama walaupun berubah ketika menjadi tua serta dalam dunia sekitar.
– Identitas sebagai keserasian peran sosial yang pada prinsipnya dapat berubah dan berubah-ubah.
– Identitas sebagai “bagai hidupku sendiri” yang berkembang dalam tahap-tahap terdahulu dan menentukan bagaimana peran sosial itu dapat terwujud.
– Identitas sebagai suatu yang khas pada tahap Adelonsasi yang dapat berubah dan dipahami setelah setiap Adelonsasi.
– Identitas sebagai pengalaman subyektif.
– Identitas sebagai kesinambungan diri sendiri dengan orang lain.
Proses terjadinya identitas dapat diungkapkan juga secara abstrak. Identitas ialah suatu proses restrukturisasi segala identifikasi dan pengalaman terdahulu, seluruh identitas fragmeter baik dan buruk, atau positif negatif diolah dalam perspektif suatu masa depan yang diartisipasi, manusia merupakan identitasnya, apabila dia dapat menggabungkan pengalaman-pengalaman tersebut menjadi tatanan baru yang positif.
Tahap khas dari krisis identitas sebenarnya adalah masa Adelonsia, yaitu saat pemuda mencoba-coba dengan berbagai macam konfigurasi dari identitas positif dan negatif seperti mencoba mode berpakaian, mengikuti peran aktor atau artis yang disenangi untuk akhirnya menetapkan mana yang cocok. Karena masa Adelonsia adalah masa peralihan di finitif dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pendapat Eriksen tentang pembentukan identitas adalah : akhirnya pembentukan identitas pada saat identifikasi tidak dapat …… 187.
Dengan demikian penentuan identitas sesungguhnya baru bermula pada masa Adolensasi. Namun hal itu belum bisa menjadi patokan karena masih bersifat dinamis, selalu berkembang dan senantiasa berubah-ubah sepanjang hidup individu. Erikson juga berpendapat bahwa identitas pada hakikatnya bersifat “psikososial” karena pembentukan identitas memiliki hubungan timbal balik pada diri sendiri ditengah-tengah masyarakat. Freud berpendapat identitas adalah rasa kerasan, suatu konstruksi pada diri sendiri, yang mengikat individu itu pada anggota rasnya dan kelompoknya.
Jadi masalah identitas ialah masalah bagaimana suatu kesinambungan ditentukan antara masa lampau dan masa depan masyarakat, dimana identitas pemuda sebagai transformator kritis dari kedua masa sosial tadi. Identitasnya yang unik dalam diri sendiri, tetapi dia juga ingin tahu jenis manusia apakah dia, seorang Jerman, Amerika, atau Indonesia orang hitam atau putih, seorang pegawai, petani, pelajar atau seorang Maha guru dan sebagainya.
Sebagaimana telah dikatakan, tahap yang menentukan pembentukan identitas adalah masa adolesensi yang di mulai pada umur 13 atau 14 tahun. Dalam masa remaja ini muncullah suatu “krisis identitas”, yang berakhir entah dengan membawa suatu pembentukan identitas “Ego” yang mantap atau menghasilkan “rasa kehilangan diri” yang agak patologis. Erikson menyebut tahap ini suatu “krisis identitas”, karena di sini kegagalan sementara berfungsi untuk menetapkan suatu identitas stabil. Bahaya kebingungan peran sosial harus diatasi, sehingga akhirnya dapat terjadi suatu perubahan perspektif radikal. Dalam krisis ini segala mekanisme psikososial dari identitas berlawanan, sehingga terjadi kekacauan peran yang menjadi bahaya khas periode ini dan menjadi masalah pokok yang dihadapi pemuda. Krisis yang paling berat dan paling berbahaya, karena penyelesaian yang gagal atau berhasil dari krisis identitas itu mempunyai akibat jauh untuk seluruh masa depan dari Ego dewasa, bahkan dari generasi-generasi anak yang berikut. Baru sesudah masa adolesensi yang harus memantapkan suatu identitas kuat, kita dapat berbicara tentang suatu Ego dewasa yang matang. Tanpa penetapan suatu identitas yang terintegrasi baik (tentu sebagai suatu kompromi yang relatif bebas konflik) manusia selama masa dewasanya akan mengalami kesulitan terus-menerus dan tetap akan dibebani dengan berbagai macam konflik yang mengacaukan dan membingungkan.
Erikson menguraikan masa adolesensi sebagai “periode lingkaran hidup di mana setiap pemuda harus menciptakan untuk dirinya sendiri suatu perspektif dan orientasi sentral, suatu kesatuan psikososial yang berfungsi baik dengan mengolah pengaruh sisa-sisa masa kanak-kanaknya dan harapan-harapan masa dewasa yang diantisipasinya ; dia harus menemukan suatu kesamaan yang berarti antara apa yang dapat dia lihat dalam dirinya sendiri dan bagaimana menurut kesadarannya yang lebih tajam orang lain menilainya dan mengharapkan dari padanya (young man Luther, halaman 12). Adolesensi merupakan tahap terakhir dari tahap masa kanak-kanak namun proses adolensensi itu baru betul-betul berakhir apabila individu menempatkan segala identifikasi yang baru, yang tercapai dalam kebersamaan yang amat mengasyikkan serta dalam masa belajar suatu keahlian yang berciri bersaing bersama dengan dan di tengah-tengah teman-teman sebaya. Maka periode adolesensi adalah masa di mana individu sangat terlibat dalam proses menentukan diri (yang sering diiringi dengan rasa takut dan ketegangan yang meningkat), di mana segala sasaran pribadi, tujuan sosial dan cita-cita antar pribadi harus diuji kembali dan diubah. Makna dari periode adolesensi ini terdapat dalam pergumulan keras untuk merebut identitasnya sendiri, yang sebenarnya tidak lain daripada usaha menyiapkan diri untuk kehidupan sebagai orang dewasa di mana si remaja harus mencari tempatnya sendiri yang dapat diakui oleh seluruh masyarakat.
Benar bahwa krisis adolesensi merupakan peralihan yang amat sukar dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Sesudah orang berhasil dengan mudah untuk mensintesiskan segala pengalaman dan reaksi dari setiap tahap masa kanak terdahulu, maka dia harus meninggalkan masa kanak-kanak itu dan memilih satu tempat dalam dunai orang dewasa. Hal ini mengandaikan suatu kepekaan khusus pada perubahan sosial dan historis. Periode yang sulit dapat dicirikan sebagai berikut :
“Itulah periode kemurungan serta perasaan halus; periode dari pikiran gelisah dan badan lesu; masa rasa berambisi serta keinginan kuat untuk menjelajah dan mengenal segala kemungkinan, namun juga masa untuk bermuram terus-menerus dan berkeliaran; masa kebimbangan tak terduga antara keduniawian yang berlebihan dan kenaifan luas biasa; masa antara usaha menjadi lebih dewasa daripada orang dewasa sendiri lalu menjadi lebih bersifat kekanak-kanakan daripada anak-anak. Dan terutama, periode adolesensi ini adalah masa krisis penuh ketidak pastian apabila pemuda harus melibatkan diri (biasanya sesudah sekian banyak mengalami kegelisahan pada mulanya) dalam satu penentuan diri yang akan diakui oleh diri sendiri dan orang lain (L.W. Pye, dalam Psychoanalysis and History, halaman 158).
Apabila krisis identitas dilalui secara normal, timbul suatu identitas yang terintegrasi, koheren, dan jelas. Tentu identitas ini yang kebanyakan menjadi bagian terbesarnya positif, meskipun disertai pula oleh sisi gelapnya yakni “identitas negatif”. Bagaimanapun kebingungan identitas ini mengakibatkan suasana ketakutan, ketidak pastian, ketegangan, isolasi, dan ketaksanggupan mengambil keputusan. “keadaan ini dapat menyebabkan si pemuda merasa terisolasi, kosong, cemas dan bimbang. Pemuda merasa bahwa dia harus mengambil keputusan penting, namun dia tidak sanggup berbuat demikian. adolesen dapat merasa bahwa masyarakat memaksa dia untuk mengambil keputusan, maka dia menjadi lebih bersifat menentang lagi. Para adolesen ini sangat prihatin pada masalah bagaimana orang-orang lain melihat mereka, dan mereka cenderung memamerkan keyakinan diri yang cukup tinggi dan memperlihatkan keadaan-keadaan maju pemunduran yang sewaktu-waktu terjadi ke arah keadaan infantil ternyata menjadi suatu alternatif yang baik bagi keterlibatan ruwet yang diharuskan darinya dalam satu masyarakat dewasa. Tingkah laku si remaja amat tidak konsisten dan tidak dapat diramalkan selama dalam keadaan kacau-balau itu. Pada suatu ketika dia merasa berat untuk melibatkan diri dalam pergaulan dengan satu orang pun karena dia merasa takut ditolak, dikecewakan, atau disesatkan. Tetapi pada saat lain, dia ingin menjadi seorang pengikut, pencinta, atau murid bagaimanapun akibat-akibat dari keterlibatan semacam itu” (C.S. Hall/G. Lindzey, Theories of Personality, halaman 96).
Tempat kritis khas dari masa adolesensi dalam keseluruhan lingkaran hidup ditunjukkan secara tepat oleh istilah “moratorium psikososial”. Setiap masyarakat mengizinkan suatu periode “kosong” antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang resmi pada para adolesensinya :
“Suatu jangka waktu yang sesudahnya mereka bukan lagi anak-anak, tetapi sebelum perbuatan dan pekerjaan mereka dihitung sebagai sesuatu yang mengantar kepada identitas masa depannya” (Young Man Luther, halaman 43).
Jadi bahaya pada Fase Adelonsia yakni “Krisis Identitas” meliputi :
1. Kesadaran identitas atau kepastian diri ekstrem, yang dialami pemuda yang masih meraba-raba dan berusaha menemukan diri yang mantap, supaya dia dapat mengimbangi dan menyembunyikan ketakpasitan diri yang amat mendalam. Hal itu menjadi nyata dalam sifat malu-malu atau justru dalam sifat tak tahu malu pada pemuda.
2. Identitas negatif merupakan suatu ringkasan yang memuat semua hal yang termasuk kelompok identifikasi negatif atau segala hal yang anda tidak ingin menyerupai. Identitas negatif ini terdiri dari, misalnya, badan yang diperkosa atau dikebiri, kelompok etnis yang ditolak, minoritas yang diperas, dan sebagainya.
3. Kekacauan perspektif waktu yang disebabkan oleh kehilangan fungsi Ego, yang membeda-bedakan berbagai perspektif waktu dan memungkinkan harapan masa depan.
4. Pelumpuhan kerja atau gangguan kesanggupan berprestasi yang nampak entah dalam ketaksanggupan total untuk memusatkan perhatian pada kerja apa pun saja, atau dalam keasyikan melulu dengan hal yang selalu sama.
5. Kebingungan identitas dan kekacauan peran seperti yang telah saya bicarakan/singgung tadi.
6. Kebingungan biseksual yang merupakan ketakpasitan yang sangat mendalam dari pemuda yang tidak merasa diri jelas termasuk dalam kelompok jenis kelamin tertentu. Kebingungan seksualitas ganda ini gampang membawa pemuda kepada homoseksualitas atau juga penolakan keras terhadap segala seksualitas.
7. Kebingungan kewibawaan yang merupakan rasa tak sanggup untuk menaati atau memberi perintah begitu saja. Setiap situasi persaingan atau struktur hierarkis dalam hal kekuasaan atau kewibawaan menyebabkan orang itu menjadi panik.
8. Kekacauan ideologis yang akan terjadi pada seorang pemuda yang tidak dapat memilih dengan tegas suatu ideologi atau agama tertentu.

Dari Analisis Tersebut,
Perlulah kiranya memahami psikologi remaja yang sangat rentan terhadap “krisis identitas” guna menanggulangi kenakalan remaja, bisa jadi kondisi saat ini dimana kenakalan remaja saat diatasi disebabkan kita kurang memahami perkembangan psikologi pada remaja.

Kategori:PSIKOLOGI

Tips Belajar untuk Ujian Semester

Januari 12, 2011 Tinggalkan komentar

Secara udah mau ujian semesteran yah buat anak-anak sekolah (kasih tau dong ujiannya kapan niy. ^^ ), Helda pengen sharing tips buat adik-adik – tips dan cara belajar agar lulus ujian semesteran. *Berasa kakak ya ;p* Yang  pasti dan yang terutama adalah belajarlah mulai dari adik-adik selesai baca postingan ini!

;)

Actually, menurut Helda, secara garis besar cara belajar untuk persiapan ujian ituh ada tiga cara, khususnya untuk pelajaran menghafal.

ujianujian 

  • Dihafal Dulu Baru Dibaca-baca Lagi

Beberapa waktu sebelum ujian yang  udah kita tetapin, kita gunakan untuk menghafal [mati]. Nah, ketika ujiannya udah mau tiba, misal semalem sebelum ujian, kita hanya tinggal baca-baca dan mempertajam saja.

Tipe inih cocok untuk mereka yang punya ingatannya [khususnya untuk hafal-hafalan] bisa bertahan lama. Biasanya sih mereka text-book banget dah ntar jawabannya. Wuih!

:-o

  • Dibaca-baca Dulu Baru Dihafal

Beberapa waktu sebelum ujian yang udah kita tetapin, kita gunakan untuk baca-baca ajah. Nah, pada waktu ujian udah mau tiba, misal semalem sebelum ujian, baru dah dihafal [mati]. Tipe inih cocok untuk mereka yang punya ingatan yang ngga bisa bertahan lama.

Helda sendiri termasuk tipe yang kedua ini nih. Helda ngga bisa menghafal dan mengingatnya untuk waktu yang lama. Makanya, Helda lebih memilih untuk baca-baca aja, lebih memilih untuk mengerti garis besarnya dulu. Setelah ituh, baru dah Helda embat buat menghafal. Dari pengalaman Helda nih ye sebagai tipe yang kedua inih – Helda menjadi orang yang ngga ‘text-book’.

;))

  • Dihafal – Dibaca-baca – Dihafal

Ini nih tipe orang paling rajin. Hehehe. Pada waktu yang udah ditetapin, dia bakal menghafal [mati]. Waktu dia lagi nyantai atau ngga ada kerjaan atau lagi di jalan dan sebagainya – dia bakal pake buat baca-baca sekadar memperkuat ingatan. Ketika ujian udah mau tiba, misal semalem sebelum ujian, dia gunain lagi buat hafal ulang. Mantep dah!

Tergantung kamu sih maunya gimana dan coba perhatiin kamu ituh termasuk tipe yang mana.Just for info, menurut Helda, ujian semester ituh ngga susah koq, ngga kaya’ ujian nasional. *Ya iyalah* Yang pasti, jangan sampe’ ngga belajar yah..!

;)

Yang Nyangkut dari Mesin Pencari:

cara persiapan ujian semesterTips ujian semestercara belajar sebelum ujian nasionaltips ujian sekolahtips cara belajar unUJIANujian semesterujian semester smptips buat anak sekolahtips belajar sebelum ujian

Postingan Terkait:

  1. Cara Belajar Agar Lulus UN
    Beberapa waktu lalu, saya pernah posting mengenai “Budaya Instan Lulus…
  2. Yakin, Udah Siap Untuk Pacaran?
    Ngeliat sepasang cowok-cewek jalan berdua, pegangan tangan dan bercanda-tawa riang…
  3. Prediksi Medan UN Sesungguhnya!
    Wah ngga terasa UN alias Ujian Nasional bentar lagi yah….
  4. Kerja Part Time untuk Pelajar! Kenapa Ngga’?
    Ntah karena terlalu produkif dan kreatif, kerja part-time emang jadi…
  5. Budaya Instan Lulus Ujian Nasional
    Dulu waktu Idol-idol-an itu sedang merebak, pembahasan mengenai yang instan-instan…

Blog Remaja— Sekolah & Karir— Tips Belajar untuk Ujian Semester
Tags: ajah,  baca,  bakal,  cara belajar,  cara lulus ujian,  cara menghafal pelajaran,  cocokhelda,  ingatan,  kakak,  kasih,  kerjaan,  lulus,  misal,  mulai,  ntar,  pengalaman,  sih,  tau dong,  tiba,  tipe,  tips lulus ujian,  udah,  ujian semester,  ujian semester sma,  ujian semester smp,

Kategori:PSIKOLOGI

Kenakalan Remaja

Januari 12, 2011 Tinggalkan komentar

Setelah kita kemarin cerita soal pelecehan seksual terhadap remaja, ngga ada salahnya kalo kita memundurkan pembicaraan – kenakalan remaja. Yang pasti yang satu ini worth it banget buat dibahas, gila aja makin hari makin marak perilaku menyimpang yang dilakukan oleh remaja!

Ada tawuran, ngelakuin seks bebas, narkotika, alkohol dan sebagainya. Oke, Helda udah nyebutin frasa kenakalan remaja satu kali, sebenarnya apa sih kenakalan remaja itu? Apa cuma nakal-nakal, sedikit nakal atau kenakalan (baca: terlalu nakal)?

Kata pakar-pakarnya nih, kenakalan remaja itu bisa didefinisikan sebagai perilaku menyimpang atau tingkah laku yang tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal. (Kartono, 2003).

Apa kenakalan remaja itu hanya mencakup tindakan-tindakan yang akan membawa kita ke dalam bui, Helda? Jawabannya tidak!

Silahkan perhatikan definisi kenakalan remaja yang sudah disebutkan di atas tadi. Sekarang…Kenapa seorang remaja bisa terjun ke dunia “kenakalan remaja” dan bagaimana kita sebagai remaja bisa menghadapinya? Berikut penjelasannya, tentunya berdasarkan perspektif seorang remaja.

;)

Balik ke definisi awal kenakalan remaja – suatu tindakan menyimpang/tidak dapat diterima sosial. Nah, pertanyaannya: kenapa remaja melakukan pemberontakan? Ada 3 hal yang berperan penting dalam hal ini, yaitu:

1. Keluarga

Yang paling rentan ini nih (walau di poin ketiga yang akan dibahas berikut adalah kuncinya)! Kenapa ngga? Gimana jadinya anak atau remaja di masa depan, ditentukan oleh cara didik orang tua. Nah, cara mendidik ini yang menjadi satu hal yang masih dipertanyakan, sebenarnya gimana sih? Helda aja masih bingung, hehe, ya iya lah. Tapi, satu hal yang perlu diingat adalah: seimbang. Otoriter atau istilah lebih halusnya tegas, permisif serta demokratisnya haruslah sesuai kadar.

Ketika orang tua otoriter, maka yang kita sebut sebagai kenakalan remaja akan muncul dalam artian ingin memberontak. Sementara kalo ortu permisif, remaja malah akan mencari-cari perhatian dengan segala tingkah lakunya yang kemungkinan besar menjurus ke kenakalan remaja. Bahkan orang tua yang demokratis sekalipun, Helda saja sebagai remaja ngga bisa menjamin akan menggunakan kebebasan namun bertanggung jawab dari paham demokratis ini. Karena…

:-?

2. Pergaulan

Yup! Pergaulan remaja. Tekanan teman bahkan sahabat, apakah itu yang namanya rasa solidaritas, ingin diterima, dan sebagai pelarian, benar-benar ampuh untuk mencuatkan kenakalan remaja yaitu perilaku menyimpang yang dilakukan oleh remaja.

Kalo di dalam keluarga, remaja memberontak atau mencari perhatian yang menjurus ke tindakan kenakalan remaja demi orang tua. Nah ini, malah ke kebutuhan yang lain! Yup! Teman, sabahat dan diterima dalam pergaulan yang merupakan suatu kebutuhan.

3. Remaja Itu Sendiri

Pada hakikatnya apa yang dilakuin oleh seorang remaja ketika mencoba menarik perhatian dari ortu terlebih lagi teman, adalah untuk memuaskan diri remaja itu sendiri. Memuaskan di sini bukan hanya dalam arti negatif aja yah. Namun, demi memuaskan obsesinya itu – sering malah ‘keterlaluan’ dan ‘berlebihan’!

Bukankah apa pun yang terjadi kalo memang remaja tersebut punya ‘hati yang besar’ menyadari bahwa dia tidak akan bisa mendapatkan‘perhatian itu’, pasti dia bisa untuk tidak terperosok ke dalam jurang kenakalan remaja.

*Nih Helda koq ngga memihak para remaja yah?

:D

Postingan ini hanyalah pelengkap untuk postingan berikutnya. Tadi kan kita sudah bahas mengenai kenakalan remaja, yang udah disebutin bahwa keluarga itu berperan penting. Helda pikir rata-rata remaja sekarang hidup dalam keluarga berantakan atau broken home, orang tuanya sering bertengkar, dan bahkan bercerai. Masih ingat dengan artikel blog remaja “Penyebab Kasus Perceraian Keluarga“? Karena itu, Helda bakal menyajikan postingan berseri (kayak masakan aja yah):

  • Ortu Sering Bertengkar, Bagaimana Remaja Bersikap?
  • Orang Tua Bercerai
  • Aku Bangga Jadi Remaja dari Keluarga Broken Home!
  • dll

Semoga artikel kenakalan remaja ini dan artikel-artikel berseri dari blog remaja yang dijanjikan bisa membuat para remaja menghadapi dan melawan tindakan menyimpang yang ngga ada gunanya…

;)

Yang Nyangkut dari Mesin Pencari:

kenakalan remajamakalah kenakalan remajaartikel kenakalan remajapenyebab kenakalan remajaPsikologi Remajamakalah tentang kenakalan remajakenakaln remajaFaktor Kenakalan Remajakasus kenakalan remajaartikel tentang kenakalan remaja

Postingan Terkait:

  1. Kenapa Aku Selalu Kekurangan Duit???
    Awal bulan, pastinya kantong masih full! Hihi. Btw, masih bertahan…
  2. Pelecehan Seksual Terhadap Gadis Remaja
    Pelecehan seksual terhadap remaja, sebenarnya apa aja sih yang termasuk…
  3. Remaja Produktif – Remaja dengan Segudang Aktivitas?
    Remaja sekolah produktif – yang ada dalam benak saya sewaktu…
  4. Pengendalian Diri oleh Remaja
    Ketua DPRD Sumut Tewas dalam Demo Anarkis, Diduga Karena Dikeroyok…
  5. Pengaruh Musik Terhadap Kecerdasan Emosional Remaja
    Kaga’ bisa hidup tanpa musik? Sah-sah saja sih. Ya, walaupun…

Blog Remaja— Psikologi Remaja— Kenakalan Remaja
Tags: awal,  bisa,  blog remaja,  broken home,  didik,  frasa,  helda,  kalo,  kasus perceraianKeluarga,  Kenakalan Remaja,  marak,  nakal,  narkotika,  penyebab kenakalan remajaPergaulan Remaja,  perilaku menyimpang,  perspektif,  poin,  remaja,  Remaja Hadapi Kenakalan Remaja,  seks bebas,  sih,  tadi,  tawuran,  tindakan kenakalan remaja,  udah,

Kategori:PSIKOLOGI

Kekerasan dalam Pacaran (KDP)

Januari 12, 2011 Tinggalkan komentar

 

Pacaran adalah hubungan antara pria dan wanita yang diwarnai keintiman dimana satu sama lain terlibat dalam perasaan cinta dan saling mengakui pasangannya sebagai pacar. Melalui berpacaran seseorang akan mempelajari mengenai perasaan emosional tentang kehangatan, kedekatan dan berbagi dalam hubungan dengan orang lain. Salah satu tugas perkembangan dewasa muda adalah berkisar pada pembinaan hubungan intim dengan orang lain.

Namun pada kenyataannya, seringkali terjadi bahwa pacaran yang dilakukan remaja dapat menjurus kepada hal-hal yang negatif, misalnya pacaran diiringi dengan perilaku seksual pranikah, kekerasan dalam berpacaran, bahkan tidak jarang terjadi kasus-kasus pembunuhan, perkosaan hingga maraknya kasus-kasus hubungan seksualyang direkam melalui handphone. Salah satu fenomena yang saat ini semakin banyak muncul pada hubungan berpacaran adalah kekerasan dalam pacaran (KDP).

Berbagi

 

Kategori:PSIKOLOGI

Penyesuaian Diri Pada Remaja

Januari 12, 2011 Tinggalkan komentar
Pemahaman penyesuaian diri pada remaja sangat penting dipahami oleh setiap remaja karena masa remaja merupakan masa pencarian jati diri. Setiap individu mengalami perubahan baik fisik maupun psikologis. Maka dari itu situs belajar psikologi ini memberikan sedikit pemahaman tentang penyesuaian diri pada remaja.
Seorang ahli bernama Schneiders ( Gunarso, 1989 ) mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses mental dan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri sesuai dengan keinginan yang berasal dari dalam diri sendiri dan dapat diterima oleh lingkungannya.Lebih jauh ia memberi pengertian bahwa penyesuaian diri itu baik atau buruk selalu melibatkan proses mental dan respon tingkah laku. Penyesuaian diri merupakan usaha-usaha individu untuk mengatasi kebutuhan dari dalam diri, ketegangan, frustasi, dan konflik serta untuk menciptakan keharmonisan atas tuntutan-tuntutan dalam dunia sekitar.
Menurut Daradjat (1972) penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamika yang bertujuan untuk mengubah tingkah laku agar terjadi hubungan yang selaras antara dirinya dan lingkungannya. Dikatakan bahwa penyesuaian diri mempunyai dua aspek, yaitu penyesuaian diri pribadi dan penyesuaian diri sosial. Penyesuaian diri pribadi adalah penyesuaian individu terhadap dirinya sendiri dan percaya pada diri sendiri. Sedangakan penyesuaian sosial merupakan suatu proses yang terjadi dalam lingkungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengannya.
Geringan (1986) mengatakan bahwa penyesuaian diri adalah mengubah diri sendiri dengan keadaan lingkungan dan juga mengubah lingkungan sesuai dengan keinginannya, Tentu saja hal ini tidak menimbulkan koflik bagi diri sendiri dan tidak melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Hillgard (dalam Damayanti, 2002), individu mengadakan penyesuaian diri untuk menghilangkan konflik dan melepaskan rasa ketidak enakan dalam dirinya. Menurut Gunarso (1995) penyesuaian diri sebaiknya menjadi dasar dari pembetukan hidup dengan pola-pola yang berintegrasi tanpa tekanan emosi yang berarti. Katono (1980) mengartikan penyesuaian diri sebagi usaha untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri dan pada lingkungan sehingga rasa bermusuhan, dengki, iri hati, pasangka, kecemasan, kemarahan sebagai respon pribadi yang tidak sesuai dengannya terkikis habis.
Penyesuaian diri merupakan faktor yang penting dalam kehidupan seseorang. Setiap saat seseorang mempunyai kebutuhan penyesuaian diri, baik dengan dirinya sendiri antara kebutuhan jasmani dan rohani, maupun kebutuhan luarnya yaitu kebutuhan sosial. (Prastyawati, 1999).
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri merupakan usaha individu untuk menyelaraskan kebutuhan dalam diri sendiri maupun dengan situasi diluar dirinya guna mendapatkan hubungan yang lebih baik serasi antara diri dan lingkungan yang dihadapinya.
Pada masa penyesuaian diri ini peran orang tua dan lingkungan sangat berpengaruh dalam mencapai keberhasilan dalam melakukan penyesuaian diri untuk membangun jati diri yang baik. Orang tua bertugas untuk memberi tauladan dan mengawasi tindak tanduk tetapi tidak dengan mengekang semua kegiatanya, serta memberikan kebebasan yang bertanggung jawab, misalnya berilah kebebasan kepada anak anda untuk bergaul dengan siapapun dan dari strata manapun asalkan tidak membawa pengaruh yang buruk baginya.
Orang tua hendaknya membiasakan anak untuk mengenal dengan baik lingkungan sekitarnya agar mereka mampu beradaptasi dengan baik dimanapun mereka berada. Orang tua hendaknya juga bisa menjadi teman bagi anaknya terutama pada masa remaja sehingga anak bisa terbuka tentang segala masalah yang dihadapinya, karena dengan itu orang tua mampu mengawasi secara tidak langsung kegiatan- kegiatan yang dilakukannya. 

Kategori:PSIKOLOGI

Perkembangan Kognitif

Januari 12, 2011 Tinggalkan komentar
Memahami perkembangan kognitif sangatlah diperlukan bagi seorang pengajar dan orang tua. Maka dari itu Situs Belajar Psikologi Mengangkat sebuah judul “perkembangan Kognitif”. Sebelum membahas lebih jauh mengenai perkembangan kognitif dan Tahapannya, mari kita mengenal dulu siapa penemu teori Psikologi ini.
Jean Piaget adalah seorang tokoh besar di bidangpsikologi perkembangan terutama dalam bidangperkembangan kognitif anak. Dijelaskan oleh Piaget, dalam memahami dunia mereka secara aktif anak-anak menggunakan skema yaitu sebuah konsep di dalam pikiran seseorang yang digunakan untuk mengorganisasikan dan mengartikan informasi yang didapat dan dapat membantu untuk menginterpretasi dan memahami dunia. Skema bisa berupa skema sederhana maupun skema yang sudah kompleks. Ada dua buah proses yang bertanggung jawab atas cara anakmenggunakan dan menyesuaikan skema mereka, yaitu asimilasi dam akomodasi. Asimilasi adalah suatu proses mental dimana anak-anak menambahkan informasi baru kedalam skema yang sudah ada. Pada proses ini anak-anak memasukkan faktor lingkungan ke dalam skema yang telah dimiliki. Akomodasi merupakan suatu proses dalam bentuk penyesuaian yang melibatkan perubahan atau penggantian skema akibat ada informasi yang tidak sesuai dengan skema lama bahkan dapat terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali. Pada proses ini anak-anak menyesuaikan skema mereka dengan lingkungannya. 

Kemudian konsep Piaget yang lain adalah organisasi yang artinya adalah usaha untuk mengelompokkan perilaku yang terpisah-pisah ke dalam urutan yang lebih teratur dalam sistem fungi kognitif. Setiap level akan diorganisasikan dan perbaikan terus menerus terhadap organisasi ini adalah bagian yang saling bersatu padu dalam perkembangan. Melalui proses asimilasi dan akomodasi sistem kognisi anak berubah dan berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap lainnya yang lebih tinggi. Kedua proses tersebut juga dilakukan untuk mencapai keadaan ekuilibrium yaitu keadaan dimana terjadi pergereran dari satu tahap pemikiran ke tahap selanjutnya saat anak mengalami konflik kognitif atau disekuilibrium dalam usahanya memahami dunia yang pada akhirnya konflik itu dapat dipecahkan dan anak mendapat keseimbangan pemikiran.

Piaget membagi tahap perkembangan kognitif menjadi empat yang masing masing berhubungan dengan usia dan tersusun dari jalan pikiran yang berbeda. Tahapan-tahapan tersebut adalah :

1. Tahap sensorimotor (usia 0-2 tahun)
Dalam tahap ini pemahaman tentang dunia atau pengalaman diperoleh anak dengan mengorganisasikan pengalaman sensori koordinasi alat indera mereka dengan gerakan otot mereka. Pada tahap ini, anak belum mempunyai konsepsi tentang objek yang tetap. Ia hanya dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap dengan indranya. Karena bayi lahir dengan refleks bawaan kemudian seiring dengan pertumbuhan mereka skema dimodifikasi dan digabungkan untuk membentuk tingkah laku yang lebih kompleks. Ketika bayi, anak-anak tidak dapat membedakan antara dirinya dan dunianya serta tidak memiliki pemahaman tentang kepermanenan objek. Menjelang akhir periode sensorimotor, anak mulai bisa membedakan antara dirinya dan dunia sekitarnya dan menyadari bahwa objek tersebut ada dari waktu ke waktu.

Tahap sesorimotor ini terbagi atas beberapa sub-tahapan yaitu :
· Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
· Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
· Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
· Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
· Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
· Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.

2. Tahap praoperasional (usia 2-7 tahun)
Tahap ini merupakan tahap pemikiran yang lebih simbolis tetapi tidak melibatkan pemikiran operasiaonal dan lebih bersifat egosentris dan intuitif ketimbang logis. Tahap ini dibagi atas dua sub-tahapan yaitu sub-tahap fungsi simbolis yang terjadi kira-kira antara usia 2-4 tahun. Dalam tahap ini anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek yang tak hadir dengan gambaran dan kata-kata tetapi pemikirannya masih bersifat egosentris dan animisme. Hal ini memperluas dunia mental mereka hingga mencakup dimensi-dimensi baru. Egosentris adalah keadaan dimana anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain sedangkan animisme adalah kepercayaan bahwa objek tak bernyawa adalah hidup dan bisa bergerak. Sub-tahapan yang selanjutnya adalah sub-tahap pemikiran intuitif yang terjadi antara usia 4-7 tahun. Piaget menyebut tahap ini sebagai tahap yang intuitif karena anak-anak merasa yakin tentang pemahaman mereka mengenai suatu hal tetepi tanpa menggunakan pemikiran rasional. Anak-anak dapat mengklasifikasikan objek hanya menggunakan satu ciri saja, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda. Pada tahap ini anak juga mulai banyak mengajukan pertanyaan dan ingin tahu semua jawaban dari pertanyaan tersebut.

3. Tahap operasional konkrit (usia 7-11tahun)
Pada umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan benda konkrit. Penalaran logika menggantikan penalaran intuitif tetapi hanya dalam situasi konkret. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasikan dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara objek tetapi belum bisa memecahkan problem-problem abstrak.

Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
· Pengurutan—kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
· Klasifikasi—kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
· Decentering—anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
· Reversibility—anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
· Konservasi—memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
· Penghilangan sifat Egosentrisme—kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah).

4. Tahap operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
Pada tahap ini diperoleh kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Para remaja ini mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan dengan objek atau saat peristiwanya berlangsung sehingga dapat memecahkan permasalahan yang sifatnya verbal. Selain itu pada proses ini terdapat kemampuan untuk melakukan idealisasi dan membayangkan kemungkinan-kemungkinan atau spekulasi tentang kualitas ideal yang mereka inginkan dalam diri mereka dan orang lain. Mereka juga mulai berpikir menyerupai ilmuwan. Mereka menyusun rencana untuk memecahkan masalah dan secara sistematis munguji solusi-solusi manakah yang dapat berhasil.

TEORI VYGOTSKY

Berbeda dengan Piaget yang memfokuskan pada perkembangan berfikir dalam diri anak, Vigotsky menekankan bahwa perkembangan kognitif seorang anak sangat dipengaruhi oleh sosial dan budaya anak tersebut tinggal. Setiap budaya memberikan pengaruh pada pembentukan keyakinan, nilai, norma kesopanan serta metode dalam memecahkan masalah sebagai alat dalam beradaptasi secara intelektual. Budayalah yang mengajari anak untuk berfikir dan apa yang seharusnya dilakukan. Vigotsky memandang bahwa sistem sosial sangat penting dalam perkembangan kognitif anak. Orangtua, guru dan teman berinteraksi dengan anak dan berkolaborasi untuk mengembangkan suatu pengertian. Jadi belajar terjadi dalam konteks sosial, dan kemudian muncul suatu istilah Zona Perkembangan Proksimal (ZPD). ZPD diartikan sebagai daerah potensial seorang anak untuk belajar, atau suatu tahap dimana kemampuan anak dapat ditingkatkan dengan bantuan orang yang lebih ahli. Daerah ini merupakan jarak antara tahap perkembanan aktual anak yaitu ditandai dengan kemampuan mengatasi permasalahan sendiri dengan batas tahap perkembangan potensial dimana kemampuan pemecahan masalah harus melalui bantuan orang lain yang mampu. Erat kaitannya dengan Zona Perkembangan Proksimal (ZPD) adalah scaffolding yaitu suatu teknik untuk mengubah level dukungan. Jadi, selama proses pengajaran, orang lain yang lebih ahli menyesuaikan jumlah bimbingan terhadap kinerja yang telah dicapai anak agar anak pada akhirnya menguasai keterampilan tersebut secara independen.

PERKEMBANGAN BAHASA ANAK.

Bahasa adalah sebuah bentuk komunikasi. Ada tiga faktor paling signifikan yang mempengaruhi anak dalam berbahasa, yaitu biologis, kognitif dan lingkungan. Faktor biologis adalah salah satu landasan perkembangan bahasa untuk membentuk manusia menjadi seorang manusia linguistik. Setiap anak mempunyai language acquisition device (LAD), yaitu kemampuan alamiah anak untuk berbahasa. Tahun-tahun awal masa anak-anak merupakan periode yang penting untuk belajar bahasa. Faktor kognitif individu merupakan satu hal yang tidak bisa dipisahkan pada perkembangan bahasa anak. Para ahli kognitif juga menegaskan bahwa kemampuan anak berbahasa tergantung pada kematangan kognitifnya.

Secara umum semua bahasa mengikuti aturan dibawah ini, yaitu:

a. Fonologi. Bagaimana seseorang memperoleh fasilitas kemampuan memahami bunyi kata dan intonasi merupakan sejarah perkembangan fonologi.

b. Morfologi. Merupakan aturan untuk mengombinasikan morfem. Morfem adalah suatu rangkaian suara yang merupakan kesatuan dari bahasa terkecil. Aturan yang mengatur morfem memastikan bahwa serangkaian suara tertentu terjadi dalam urutan tertentu dan sesuai dengan aturan lainnya.

c. Sintaksis. aturan-aturan yang mengatur bagaimana kata-kata disusun ke dalam kalimat yang dipahami dan dapat diterima.

d. Semantik. Merupakan makna kata atau cara yang mendasari konsep-konsep yang diekspresikan dalam kata-kata atau kombinasi kata.

e. Pragmatik. Berkenaan dengan bagaimana menggunakan bahasa dengan baik ketika berkomunikasi dengan orang lain. Di dalamnya meliputi bagaimana mengambil kesempatan yang tepat, mencari dan menetapkan topik yang relevan, mengusahakan agar benar-benar komunikatif, bagaimana menggunakan bahasa tubuh (gesture), intonasi suara, dan menjaga konteks agar pesan-pesan verbal yang disampaikan dapat dimaknai dengan tepat oleh penerimanya. Pragmatik juga mencakup di dalamnya pengetahuan sosiolinguistik, yaitu bagaimana suatu bahasa harus diucapkan dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Agar dapat berkomunikasi dengan berhasil, seseorang harus memahami dan menerapkan cara-cara interaksi dan komunikasi yang dapat diterima oleh masyarakat tertentu, seperti ucapan selamat datang dan selamat tinggal serta cara mengucapkannya. Selain itu, seseorang juga harus memperhatikan tata krama berkomunikasi berdasarkan hirarki umur atau status sosial yang masih dijunjung tinggi dalam suatu masyarakat tertentu. Pada anak, pragmatik dilakuakan ketika mereka belajar membedakanmana bahasa yang sopan dan kasar serta ketika mereka belajar menceritakan sebuah lelucon menjadi terdengar lucu.

Kategori:PSIKOLOGI

Konteks Sosial Dalam Perkembangan Anak

Januari 12, 2011 Tinggalkan komentar
Artikel Psikologi Perkembangan Anak ini lebih fokus pada Pengaruh Keluarga, Teman Sebaya Dan Sekolah. Artikel Psikologi perkembangan Anak ini sangat bermanfaat untuk orang tua dan para guru. Berikut adalah poin-poin pembahasan Konteks sosial Perkembangan anak; 

Keluarga
Keluarga merupakan tempat pertama kali anak melakukan fungsi sosialisasinya. Proses yang terjadi antara anak dan orangtua tidaklah bersifat satu arah, namun saling mempengaruhi satu sama lain. Artinya, anak belajar dari orangtua, sebaliknya, orangtua juga belajar dari anak. Proses sosialisasi yang terjadi dalam keluarga lebih berbentuk sebagai suatu sistem yang interaksional. Bahkan hubungan antara suami dan istri pun akan mempengaruhi perkembangan anak.

Pola pengasuhan orangtua akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologis anak. Orangtua yang cenderung otoriter (authoritarian parenting), dimana mereka menghendaki anak untuk selalu menuruti keinginan orangtua tanpa ada kesempatan bagi anak untuk berdialog, akan menghasilkan anak-anak yang cenderung cemas, takut, dan kurang mampu mengembangkan keterampilan berkomunikasinya. Sebaliknya, orangtua yang cenderung melepas keinginan anak (neglectful parenting) akan menyebabkan anak tidak mampu mengontrol perilaku dan keinginannya dan dapat membentuk pribadi anak yang egois dan dominan. Sebagai jembatan dari kedua pola pengasuhan yang ekstrem tersebut, maka pola pengasuhan demokratislah (authoritative parenting) yang dapat menjadi solusi terbaik bagi para orangtua untuk dapat mengoptimalkan perkembangan psikologisanaknya. Orangtua yang demokratis menghendaki anaknya untuk tumbuh sebagai pribadi yang mandiri dan bebas namun tetap memberikan batasan untuk mengendalikan perilaku mereka. Dalam hal ini, cara-cara dialogis perlu dilakukan agar anak dan orangtua dapat saling memahami pikiran dan perasaan masing-masing. Hukuman dapat saja diberikan ketika terjadi pelanggaran terhadap hal-hal yang bersifat prinsip. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa hukuman tersebut harus disertai dengan penjelasan yang dialogis agar anak mengerti untuk apa mereka dihukum dan perilaku apa yang sebaiknya dilakukan.

Kemudian hal dalam keluarga yang dapat mempengaruhi perkembangan anak adalah kondisi keluarga yang berubah dalam masyarakat yang berubah. Maksudnya disini adalah kondisi dimana dalam keluarga tersebut para ibu turut bekerja di luar rumah maupun terjadi perceraian.

Pada anak-anak dari keluarga yang didalamnya para ibu turut serta bekerja di luar rumah belum tentu perkembangannya dapat lebih baik daripada anak-anak yang ibu-ibunya tidak bekerja dan diam di rumah. Para ibu yang diam di rumah cenderung akan berlebihan mencurahkan seluruh perhatian dan energinya untuk mengurus dan mengawasi anak-anak mereka. Hal ini akan menimbulkan rasa kekhawatiran yang berlebihan pula dan akan menghambat proses kemandirian anak.

Pada keluarga yang mengalami perceraian kebanyakan anak pada mulanya mengalami stres berat ketika orang tua mereka harus berpisah. Sebagian besar anak-anak korban perceraian cenderung tidak dapat mengontrol emosi mereka, kekecewaan anak kepada perilaku tidak dapat mengontrol emosi dari orang tua mereka yang sudah bercerai mengakibatkan keinginan untuk melampiaskan rasa frustasi mereka dengan melakukan hal-hal yang berlawanan dengan peraturan misalnya saja memberontak dan sebagainya. Mereka pun akan menjadi mudah marah karena sering melihat orang tua yang selama ini dijadikan panutan bertengkar akibat permasalahan perceraian . Anak- anak yang sebenarnya tidak menginginkan perpisahan kedua orang tuanya ini akan merasa sangat terpukul dan hal ini juga yang membuat mereka jadi kurang berprestasi , memiliki tingkat motivasi yang kurang bagus, murung dan anak merasa bersalah dan merasa bahwa dirinya yang menjadi penyebab percerain. Selain itu dampak perceraian terhadap perilaku sosial, anak korban perceraian menjadi tertekan dengan status sebagai anak cerai atau lebih dikenal dengan istilah “anak broken home” dengan menjadikan perasaannya berbeda dari anak-anak yang lain, anak mempunyai rasa minder, kurang percaya diri bahkan ia menjadi kehilangan jati diri dan identitas sosialnya, dan ia juga merasa dikucilkan oleh teman-temannya. Anak-anak korban perceraian pun akan sering merasa iri dengan teman-teman sebaya mereka yang memiliki keluarga yang utuh dan jika hal tidak di arahkan sejak dini tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan perilaku negatif mereka.

Tetapi tidak semua anak mengalami trauma akibat perceraian, banyak anak yang berasal dari kelurga yang bercerai dapat menjadi individu yang berkompeten. Hal itu dikarenakan faktor dari individu dan latar belakang orang tua yang mampu memberi penjelasan bahwa sebenarnya perceraian juga dapat melepaskan anak-anak dari masalah konflik perkawinan yang dialami orang tua mereka dan ini merupakan jalan terbaik yang harus ditempuh. Harapan yang timbul dari anak-anak korban perceraian adalah berfikir bahwa kegagalan orang tuanya dapat di jadikan pelajaran agar ia tidak seperti mereka dan menjadi bekal mereka untuk menuju masa depan yang lebih baik.

Teman Sebaya
Konteks sosial di luar keluarga pada anak-anak adalah teman sebaya. Pada teman sebaya inilah, anak memperoleh informasi dan perbandingan tentang dunia sosialnya. Anak juga belajar tentang prinsip keadilan melalui konflik-konflik yang terjadi dengan teman-temannya. Pada masa sekolah dasar, teman sebaya yang dipilih biasanya terkait dengan jenis kelamin. Anak cenderung bermain dengan teman sesama jenis kelaminnya. Dalam pergaulan ini anak belajar tentang konsep gender antara laki-laki dan perempuan dimana anak laki-laki seringkali saling mengajarkan perilaku maskulin dan anak perempuan juga saling mengajarkan kultur bagaimana menjadi wanita.

Pada masa remaja awal dimana remaja menyatakan bahwa mereka lebih tergantung kepada teman daripada orang tua untuk memenuhi kebutuhan akan rasa kebersamaan, keinginan untuk ikut serta dalam kelompok pertemanan makin meningkat. Disini rasa persahabatan mereka memainkan peranan cukup penting sehingga apabila remaja bertemu dengan sebuah kelompok kecil kemudian merasa cocok dan nyaman berada dalam kelompok tersebut mereka akan berusaha untuk tetap setia dan kesetiaan pada kelompok ini dapat mempengaruhi hidup mereka.

Sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran dan latihan dalam rangka membantu anak agar mampu mengembangkan potensinya, baik yang menyangkut aspek moral spiritual, intelektual, emosionalmaupun sosial. Peranan sekolah dalam mengembangkan kepribadian anak adalah sebagai faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak baik dalam cara berpikir, bersikap maupun cara berperilaku. Sekolah mempunyai peranan atau tanggung jawab penting dalam membantu para anak mencapai tugas perkembangannya. Alasannya antara lain adalah bahwa sekolah memberi pengaruh kepada anak secara dini, seiring dengan perkembangan konsep dirinya, anak-anak banyak menghabiskan waktunya di sekolah dari pada tempat lain di luar rumah, sekolah memberikan kesempatan kepada anak untuk meraih sukses, sekolah memberi kesempatan pertama kepada anak untuk menilai dirinya dan kemampuan secara realistic dan sekolah juga berperan sebagai substansi keluarga dan guru subtitusi orang tua.

Sehubungan hal ini, sekolah sebisanya berupaya menciptakan suatu kondisi yang dapat memfasilitasi anak untuk mencapai tugas perkembangannya tersebut. Upaya sekolah dapat berjalan dengan baik, apabila sekolah tersebut telah tercipta kondisi yang sehat atau efektif, baik menyangkut aspek manajemennya, maupun profesionalisme para personelnya. Sekolah yang efektif itu sebagai sekolah yang memajukan, atau mengembangkan prestasi, ketrampilan sosial, sopan santun, sikap positif terhadap belajar, rendahnya angka absen dan memberikan ketrampilan-ketrampilan yang memungkinkan seorang anak dapat mandiri. Sekolah yang efektif disamping ditandai oleh ciri-ciri di atas juga sangat didukung oleh kualitas para guru, baik menyangkut karakteristik pribadi maupun kompetensinya. Karakteristik pribadi dan kompetensi guru ini sangat berpengaruh terhadap kualitas proses pembelajaran di kelas atau hubungan guru dengan anak di kelas yang pada nantinya akan berpengaruh pula pada keberhasilan belajar anak tersebut.

Kategori:PSIKOLOGI

Gangguan Perkembangan Pervasif

Januari 12, 2011 Tinggalkan komentar
Anak-anak dengan gangguan perkembangan pervasif (pervasif developmental disorder/PDDs) menunjukan hendaknya perilaku atau fungsi pada berbagai area perkembangan. Gangguan ini umumnya menjadi tampak nyata pada tahun-tahun pertama kehidupan dan sering kali dihubungkan dengan retardasi mental. Gangguan ini umumnya diklasifikasikan sebagai bentuk psikosis pada edisi awal DSM. Keanehan dalam berkomunikasi dan perilaku motorik yang stereotip. Type mayor dari gangguan perkembangan pervasif,
– Fokus kita disini nanti adalah Gangguan Autis (Autisme).
– Gangguan Asperger (Asperger’s disorder) ditunjukan dengan adanya deficit pada 

interaksi sosial dan perilaku stereotip. Gangguan Asperger tidak melibatkan deficit yang signifikan pada kemampuan bahasa dan kognitif (APA,2000;Szatmari dkk 2000).
Type gangguan perkembangan pervasif yang lebih jarang muncul, mencakup
– Gangguan Rett (Rett’s disorder), gangguan yang dilaporkan hanya terjadi pada wanita, dan
– Gangguan Disintegratif masa kanak-kanak (childhood disintegrative disorder), kondisi yang jarang ada, biasanya muncul pada laki-laki
Autisme ( autism), atau gangguan austistik, adalah salah satu gangguan terparah di masa kanak-kanak. Bersifat kronis dan berlangsung sepanjang hidup.
Autisme berasal dari bahasa Yunani, autos yang berarti “self.” Pertamakali di gunakan tahun 1906 oleh psikiater Swiss, Eugen Bleuler, untuk merujuk pada gaya berpikir yang aneh pada penderita skizofrenia. Cara berfikir autistic adalah kecenderungan untuk memandang diri sendiri sebagai pusat dari dunia, percaya bahwa kejadian-kejadian eksternal mengacu pada diri sendiri. Seolah-olah meeka hidup dalam dunia mereka sendiri, menutup diri dari setiap masukan dunia luar.

Ciri-ciri Autisme
ciri yang paling menonjol adalah
– kesendirian yang amat sangat
ciri lain mencakup masalah
– bahasa,( ex: ekolalia-mengulang kembali apa yang didengar dengan nada suara tinggi dan monoton )
– komunikasi,
– dan perilaku ritualistic atau stereotip

ciri utama dari autisme adalah :
– gerakan stereotype berulang yang tidak memiliki tujuan–berulang-ulang memutar benda, menepukkan tangan, berayun kedepan dank e belakang dengan lengan memeluk kaki–
– sebagian anak menyakiti diri sendiri.

Ciri lain dari autisme adalah :
– menolak perubahan pada lingkungan
Perspektif Teoritis penyebab autis belum diketahui, tetapi diduga berhubungan dengan abnormalitas otak

Psikolog O. Ivar Lovaas dkk (1979) menawarkan perspektif belajar-kognitif, mereka menyatakan bahwa anak-anak autistic memiliki deficit perceptual sehingga mereka hanya dapat memproses satu stimulus saja pada waktu tertentu. Akibatnya mereka lambat belajar secara classical conditioning (asosiasi terhadap stimuli). Perspective teori belajar, anak-anak menjadi terikat dengan pengasuh utama mereka karena diasosiasikan dengan reinforcer primer seperti makanan dan pelukan.
Para teoritikus Kognitif : anak-anak autistic tampaknya mengalami kesulitan untuk mengitegrasikan informasi dari berbagai indra ( Rutter,1983). Pada waktu tertentu mereka tampakterlalu sensitive pada rangsangan, lain waktu menjadi tidak sensitive.
Yang menyebabkan digisit perceptual dan kognitif ini hendaknya yang dihubungkan dengan autistic, termasuk retardasi mental, deficit bahasa, perilaku motorik yang aneh, menunjukan adanya gangguan neurologist yang melibatkan suatu bentuk kerusakan otak atau ketidakseimbangan kimiawi saraf dalam otak (Perry dkk,2001; stokstad,2001). Namun para peneliti belum menentukan kerusakan otak seperti apa yang dapat menjadi penyebab autisme. Pada akhirnya, penyebab autisme tetap menjadi misteri.

Penanganan, walaupun autisme belum dapat disembuhkan, belajar untuk mengurangi perilaku yang menggangu dan meningkatkan ketrampilan belajar serta komunikasi padaanak-anak autistic.
1. Pengembangan Perilaku Baru
perilaku-perilaku baru ini dipertahankan dengan adanya reinforcer,sehingga penting untuk mengajarkan kepada anak-anak ini, yang sering merespons kepada orang lainseperti mereka berhadapan dengan benda mati, untuk menerima orang lain seperti reinforcer. Seseorang dapat dijadikan reinforcer dengan cara memasangkan pujian reinforcer primer seperti makanan.
2. Pendekatan Biologis
pendekatan biologis hanya memberikan pengaruh yang terbatas pada penanganan autisme.hal ini dapat berubah. Penelitian menunjukan obat-obatan yang meningkatkan aktivitas serotonim seperti SSRI, dapat mengurangi pikiran dan perilaku repetitive serta agresivitas sehingga menghasilkan perbaikan dalam hubungan social dan penggunaan bahasa pada individu autistic deasa (McDoufle dkk, 1996).

Kategori:PSIKOLOGI

“Tawuran Pelajar”: Ditinjau dengan perspektif perilaku Agresi

Januari 12, 2011 Tinggalkan komentar

“Tawuran Pelajar”: Ditinjau dengan perspektif perilaku Agresi

BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Pelajar yang sedang menempuh pendidikan di SLTP maupun SLTA, bila ditinjau dari segi usianya, sedang mengalami periode yang sangat potensial bermasalah. Periode ini sering digambarkan sebagai storm and drang period (topan dan badai). Dalam kurun ini timbul gejala emosi dan tekanan jiwa, sehingga perilaku mereka mudah menyimpang. Dari situasi konflik dan problem ini remaja tergolong dalam sosok pribadi yang tengah mencari identitas dan membutuhkan tempat penyaluran kreativitas. Jika tempat penyaluran tersebut tidak ada atau kurang memadai, mereka akan mencari berbagai cara sebagai penyaluran. Salah satu eksesnya, yaitu “tawuran”. .
.“Tawuran” mungkin kata tersebut sering kita dengar dan baca di media massa. Bagi warga Jakarta, aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal mungkin sudah merupakan berita harian. Saat ini beberapa televisi bahkan membuat program-program khusus yang menyiarkan berita-berita tentang aksi kekerasan. Aksi-aksi kekerasan dapat terjadi di mana saja, seperti di jalan-jalan, di sekolah, bahkan di kompleks-kompleks perumahan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mencaci maki) maupun kekerasan fisik (memukul, meninju, dll). Pada kalangan remaja aksi yang biasa dikenal sebagai tawuran pelajar/masal merupakan hal yang sudah terlalu sering kita saksikan, bahkan cenderung dianggap biasa. Pelaku-pelaku tindakan aksi ini bahkan sudah mulai dilakukan oleh siswa-siswa di tingkat SLTP/SMP. Hal ini sangatlah memprihatinkan bagi kita semua.
Hal yang terjadi pada saat tawuran sebenarnya adalah perilaku agresi dari seorang individu atau kelompok. Agresi itu sendiri menurut Murray (dalam Hall & Lindzey, Psikologi kepribadian, 1993) didefinisikan sebagai suatu cara untuk melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh,atau menghukum orang lain. Atau secara singkatnya agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain.
Banyaknya tawuran antar pelajar di kota-kota besar di Indonesia merupakan fenomena menarik untuk dibahas. Di sini penulis akan memberi beberapa contoh dari berita-berita yang ada. Di Palembang pada tanggal 23 September 2006 terjadi tawuran antar pelajar yang melibatkan setidaknya lebih dari tiga sekolah, di antaranya adalah SMK PGRI 2, SMK GAJAH MADA KERTAPATI dan SMKN 4 (harian pagi Sumatra ekspres Palembang). Di Subang pada tanggal 26 Januari 2006 terjadi tawuran antara pelajar SMK YPK Purwakarta dan SMK Sukamandi (harian pikiran rakyat). Di Makasar pada tanggal 19 September 2006 terjadi tawuran antara pelajar SMA 5 dan SMA 3 (karebosi.com). Tidak hanya pelajar tingkat sekolah menengah saja yang terlibat tawuran, di Makasar pada tanggal 12 Juli 2006 mahasiswa Universitas Negeri Makasar terlibat tawuran dengan sesama rekannya disebabkan pro dan kontra atas kenaikan biaya kuliah (tempointeraktif.com). Sedangkan di Semarang sendiri pada tanggal 27 November 2005 terjadi tawuran antara pelajar SMK 5, SMK 4 dan SMK Cinde (liputan6.com). Masih banyak kejadian tawuran antar pelajar yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu di sini.
Tawuran pelajar secara kuantitas sebenarnya boleh dikatakan kecil. Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI Jakarta Raya mencatat, pelajar yang terlibat tawuran hanya sekitar 1.369 orang atau sekitar 0,08 persen dari keseluruhan siswa yang jumlahnya mencapai 1.685.084 orang. Namun dari segi isu, korban, dan dampaknya, tawuran tidak bisa dianggap enteng. Jumlah korban tewas akibat tawuran pelajar, sejak 1999 hingga kini yang tercatat mencapai 26 orang. Ini belum termasuk yang luka berat dan ringan. Secara sosial, tawuran juga telah meresahkan masyarakat dan secara material banyak fasilitas umum yang rusak, seperti dalam kasus pembakaran atau pelemparan bus umum.
Berkaitan dengan agresi Craig A. Anderson dan Brad J. Bushman dalam penelitiannya Effect Of Violent Video Games On Aggressive Behavior, Aggressive Cognitiom, Aggressive Affect, Physiological Arousal, And Prososial Behavior menemukan bahwa video-game kekerasan mengajukan suatu ancaman kesehatan-masyarakat terhadap anak-anak dan remaja, khususnya para individu usia mahasiswa dimana video game kekerasan berhubungan secara positif dengan tingkat agresi yang dipertinggi pada dewasa muda dan anak-anak. Selain itu, video game kekerasan berhubungan secara positif dengan mekansime-mekanisme utama yang mendasari efek-efek jangka panjang terhadap perkembangan kepribadian yang agresif – kognisi agresif.
. M. Brent Donnellan, Kali H. Trzesniewski, Richard W. Robins, Terrie E. Moffit dan Avshalom Caspi dalam penelitiannya Low Self Esteem is related to Aggression, Anti Social Behavior, and Delinquency menunjukkan bahwa self-esteem bisa meramalkan masalah-masalah pengeksternalisasian dimasa depan; anak-anak berusia 11 tahun dengan self-esteem yang rendah cenderung meningkat agresinya pada umur 13.
Andreas diekmann, Monika jungbaeur-gans, Heinz Krassing, Sigrid Lorenz dalam penelitiannya Social Status and Aggression menunjukan bahwa social status yang lebih tinggi tidak hanya menghambat respon agressif namun juga dapat memperhebat kecenderungan agresif seseorang, namun penelitian ini tidak dapat di generalisasikan karena perbedaan budaya dapat juga memainkan peran dalam agresi..
Berdasarkan uraian diatas penulis bermaksud memandang tawuran dengan memahami bebarapa perspektif perilaku agresi dan mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah tawuran pelajar.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang tersurat dalam pendahuluan di atas dapat ditarik suatu rumusan masalah pokok sebagai berikut, Bagaimana teori agresi memandang tawuran pelajar dan bagaimana cara mencegah terjadinya tawuran pelajar?

BAB II
Landasan Teori

A. Pengertian
Agresi walaupun merupakan konsep yang sangat familiar tetapi tampaknya tidak
mudah untuk mendefinisikannya. Agresi merupakan perilaku yang dimaksudkan menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis (Baron & Byrne, 1994; Brehm & Kassin, 1993; Brigham, 1991). Dalam hal ini, jika menyakiti orang lain karena unsur ketidaksengajaan, maka perilaku tersebut bukan dikategorikan perilaku agresi. Rasa sakit
akibat tindakan medis misalnya, walaupun sengaja dilakukan bukan termasuk agresi. Sebaliknya, niat menyakiti orang lain tetapi tidak berhasil, hal ini dapat dikatakan sebagai
perilaku agresi.
Perilaku agresif adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti dan merugikan orang lain. Jenis Agresi digolongkan menjadi dua, yaitu (1) agresi permusuhan (hostile aggression) semata- mata dilakukan dengan maksud menyakiti orang lain atau sebagai ungkapan kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi. Perilaku agresif dalam jenis pertama ini adalah tujuan dari agresi itu sendiri dan (2) agresi instrumental (instrumental aggression) pada umumnya tidak disertai emosi. Perilaku agresif hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan lain selain penderitaan korbannya. Agresi instrumental mencakup perkelahian untuk membela diri, penyerangan terhadap seseorang ketika terjadi perampokan, perkelahian untuk membuktikan kekuasaan atau dominasi seseorang (Myers dalam Sarwono,2002). Perbedaan kedua jenis agresi ini terletak pada tujuan yang mendasarinya. Jenis pertama semata- mata untuk melampiaskan emosi, sedangkan agresi jenis kedua dilakukan untuk mencapai tujuan lain.

B. Bentuk-bentuk Agresi
Bentuk atau ekspresi agresi dapat berupa fisik maupun verbal. Agresi yang berbentuk fisik seperti memukul, menendang, melempar, merusak serta bentuk- bentuk lain yang dapat mengakibatkan sakit/ luka pada objek atau sumber frustasi. Sedangkan bentuk agresi yang bersifat verbal seperti mencaci- maki, berteriak- teriak, mengeluarkan kata- kata yang kasar/ kotor dan bentuk- bentuk lain yang sifatnya verbal/ lisan.

C. Teori-Teori Agresi
1. Teori Frustrasi – Agresi
Teori frustrasi-agresi atau hipotesis frustrasi-agresi (frustration-aggression hypothesis) berasumsi bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan, akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustrasi (Dollard dkk dalam Prabowo, 1998). Menurut formulasi ini, agresi bukan dorongan bawaan, tetapi karena frustrasi merupakan kondisi yang cukup universal,agresi tetap merupakan dorongan yang harus disalurkan.
2. Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial lebih memperhatikan faktor tarikan dari luar. Bandura (dalam
Sarwono, 2002) mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari- hari pun perilaku agresif
dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa.
3. Teori Kualitas Lingkungan
Strategi yang dipilih seseorang untuk stimulus mana yang diprioritaskan atau
diabaikan pada suatu waktu tertentu akan menentukan reaksi positif atau negatif terhadap lingkungan. Berikutnya adalah teori Kualitas Lingkungan yang salah satunya meliputi kualitas fisik (ambient condition). Berbicara mengenai kualitas fisik (ambient condition), Rahardjani dan Ancok (dalam Prabowo, 1998) menyajikan beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi perilaku yaitu: kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan dan warna. Menurut Ancok (dalam Prabowo, 1998), keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi para penghuni. Sedangkan menurut Holahan (dalam Prabowo, 1998) tingginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat menimbulkan dua efek yaitu efek kesehatan dan efek perilaku.

BAB III
Pembahasan
A. Tawuran Merupakan Perilaku Agresif yang Marak dilakukan di Kalangan Pelajar
Tawuran merupakan salah satu bentuk perilaku agresi, karena dalam tawuran terdapat perilaku baik fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti dan merugikan orang lain.
Masa Remaja merupakan masa manusia mencari jati diri. Pencarian tersebut direfleksikan melalui aktivitas berkelompok dan menonjolkan keegoannya. Yang dinamakan kelompok tidak hanya lima atau sepuluh orang saja. Satu sekolah pun bisa dinamakan kelompok. Kalau kelompok sudah terbentuk, akan timbul adanya semacam ikatan batin antara sesama kelompoknya untuk menjaga harga diri kelomponya. Maka tidak heran, apabila kelompoknya diremehkan, emosianal-lah yang akan mudah berbicara.
Pada fase ini, remaja termasuk kelompok yang rentan melakukan berbagai perilaku negatif secara kolektif (group deviation). Mereka patuh pada norma kelompoknya yang sangat kuat dan biasanya bertentangan dengan norma masyarakat yang berlaku. Penyimpangan yang dilakukan kelompok, umumnya sebagai akibat pengaruh pergaulan atau teman. Kesatuan dan persatuan kelompok dapat memaksa seseorang untuk ikut dalam kejahatan kelompok, supaya jangan disingkirkan dari kelompoknya. Disinilah letak bahayanya bagi perkembangan remaja yakni apabila nilai yang dikembangkan dalam kelompok sebaya adalah nilai yang negatif.
B. Pandangan teori Agresi terhadap Sebab Terjadinya Tawuran
Tawuran pelajar merupakan salah satu bentuk perilaku penyimpangan sosial kolektif remaja dan perilaku agresif yang marak terjadi di daerah perkotaan. Penyebab tawuran kadang tidak jelas. Disinilah uniknya, sampai sampai kelompok kerja ( pokja ) penanggulangan masalah tawuran ( 1999 ) tidak mampu memberi jawaban yang jelas mengenai apa penyebab tawuran. Mungkin dianggap telah menjadi tradisi. Kadang juga hanya sekedar untuk balas dendam atau pun unjuk kekuatan saja. Tak jarang pula melibatkan penggunaan senjata tajam atau bahkan senjata api ( bom molotov ) dan menimbulkan banyak korban berjatuhan. Aksi-aksi yang dilakukan para pelajar dalam tawuran semakin beringas saja. Selain itu, tawuran juga melahirkan dendam berkepanjangan bagi para pelaku yang terlibat di dalamnya dan sering berlanjut pada tahun tahun berikutnya. Kiranya, ada baiknya kita memahami sebab terjadinya tawuran dengan teori Agresi, karena tawuran merupakan salah satu bentuk perilaku Agresi.
1. Teori Frustrasi – Agresi
Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi.
Frustrasi yang berujung pada perilaku agresi sangat banyak contohnya, salah satunya tawuran pelajar yang terjadi di Jakarta ada kemungkinan faktor frustrasi ini memberi sumbangan yang cukup berarti pada terjadinya peristiwa tersebut. Sebagai contoh banyaknya anak-anak sekolah yang bosan dengan waktu luang yang sangat banyak dengan cara nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan ditambah lagi saling ejek mengejek yang bermuara pada terjadinya perkelahian. Banyak juga perkelahian disulut oleh karena frustrasi yang diakibatkan hampir setiap saat dipalak (diminta uangnya) oleh anak sekolah lain padahal sebenarnya uang yang di palak adalah untuk kebutuhan dirinya.
Perspektif frustasi-agresi dipelopori oleh 5 orang ahli yaitu Dollard, Doob, Miller, Mowrer, dan Sears pada tahun 1939 (Brigham, 1991). Pada mulanya mereka menyatakan bahwa dalam setiap frstasi selalu menimbulkan perilaku agresi. Pada yahun 1941, Miller menyatakn bahwa frustasi menimbulkan sejumlah respon yang berbeda dan tidak selalu menimbulkan perilaku agresi. Perilaku agresi hanya salah satu bentuk respon yang muncul. Watson (1984), Kulik dan Brwn (dalam Worchel dan Cooper, 1986) menyatakan bahwa frustasi yang muncul dari akibat faktor luar menimbulkan perilaku agresi yang lebih besar dibandingkan dengan halangan yang diebabkan diri sendiri. Hasil penelitian Burnstein dan Worchel menyatakan bahwa frustasi yang menetap akan mendorong perilaku agresi. Dalam hal ini, orang siap melakukan perilaku agresi karena orang menahan ekspresi agresi. Frustasi yang disebabkan situasi yang tidak menentu(uncertaint) akan memicu perilaku agresi semakin besar dibandingkan dengan frustasi karena situasi yang menentu.

Dollard dkk menyatakan bahwa walaupun frustasi menimbulkan perilaku agresi tetapi perilaku agresi dapat dicegah jika ada hukuman terhadap perilaku agresi. Dalam kenyataannya, tidak setiap perilaku agresi dapat diarahkan pada sumber frustasi, sehingga orang akan mengarahkan (dalam Worchel dan Cooper, 1986)
2. Teori Belajar Sosial
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan melalui Televisi dan juga “games” atau pun mainan yang bertema kekerasan. Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara TV yang menyajikan acara khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja seperti Smack Down, UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya.
Model pahlawan di film-film seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan tindak kekerasan. Hal ini sudah barang tentu membuat penonton akan semakin mendapat penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangka dan dapat dijadikan suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hal ini menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresi.
Dalam penelitiannya Craig A. Anderson dan Brad J. Bushman dalam penelitiannya Effect Of Violent Video Games On Aggressive Behavior, Aggressive Cognitiom, Aggressive Affect, Physiological Arousal, And Prososial Behavior menemukan bahwa video-game kekerasan mengajukan suatu ancaman kesehatan-masyarakat terhadap anak-anak dan remaja, khususnya para individu usia mahasiswa dimana video game kekerasan berhubungan secara positif dengan tingkat agresi yang dipertinggi pada dewasa muda dan anak-anak. Selain itu, video game kekerasan berhubungan secara positif dengan mekansime-mekanisme utama yang mendasari efek-efek jangka panjang terhadap perkembangan kepribadian yang agresif – kognisi agresif. .
Selain model dari yang di saksikan di televisi belajar model juga dapat berlangsung secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Bila seorang yang sering menyaksiksikan tawuran di jalan, mereka secara langsung menyaksikan kebanggaan orang yang melakukan agresi secara langsung. Atau dalam kehidupan bila terbiasa di lingkungan rumah menyaksikan peristiwa perkelahian antar orang tua dilingkungan rumah, ayah dan ibu yang sering cekcok dan peristiwa sejenisnya, semua itu dapat memperkuat perilaku agresi yang ternyata sangat efektif bagi dirinya.
Model kekerasan juga seringkali ditampilkan dalam bentuk mainan yang dijual di toko-toko. Seringkali orang tua tidak terlalu perduli mainan apa yang di minta anak, yang penting anaknya senang dan tidak nangis lagi. Sebenarnya permainan-permainan sangat efektif dalam memperkuat perilaku agresif anak dimasa mendatang. Permainan-permainan yang mengandung unsur kekerasan yang dapat kita temui di pasaran misalnya pistol-pistolan, pedang, model mainan perang-perangan, bahkan ada mainan yang dengan model Goilotine (alat penggal kepala sebagai hukuman mati di Perancis jaman dulu). Mainan kekerasan ini bisa mempengaruhi anak karena memberikan informasi bahwa kekerasan (agresi) adalah sesuatu yang menyenangkan. Permainan lain yang sama efektifnya adalah permainan dalam video game atau play station yang juga banyak menyajikan bentuk-bentuk kekerasan sebagai suatu permainan yang mengasikkan.

3. Teori Kualitas Lingkungan
Teori kualitas lingkungan dilihat dari kualitas lingkungan sekolah
Setidaknya ada 3 faktor yang mempengaruhi tingkat kerawanan sekolah.Pertama adalah faktor fisik sekolah Seperti berdekatan dengan pusat-pusat hiburan/keramaian, kurangnya sistem pengamanan lingkungan, serta tidak tersedianya sarana yang membuat anak-anak betah di sekolah. Kedua adalah faktor psikoedukatif, yaitu ketertiban dan kelancaran proses belajar-mengajar di sekolah. Ketiga adalah faktor efektivitas interaksi edukatif di sekolah.
Kedua dari manajemen rumah tangga yang tidak efektif Pola asuh yang tidak tepat (pola asuh keras menguasai maupun pola membebaskan) serta hubungan yang tidak harmonis antar anggota keluarga dapat menyebabkan anak tidak betah di rumah dan mencari pelampiasan kegiatan di luar bersama teman-temannya. Hal ini tidak jarang menyeret mereka kepada pergaulan remaja yang tak sehat, seperti perkelahian.
Kondisi lingkungan tempat tinggal yang tidak berkualitas, tidak nyaman dan tidak layak, akan mempengaruhi remaja dalam menyikapi dan membangun hubungan dengan dunia sekitarnya. Bagi remaja yang hidup di tempat kumuh dan kotor kemungkinan besar mereka tidak akan nyaman tinggal di rumah sehingga akan melarikan diri dari kenyataan. Pada kondisi inilah remaja mudah tergiur untuk berbuat menyimpang karena lepas dari norma dan pengawasan di rumah .

Remaja yang tidak merasa dihargai, tidak dipahami, dan tidak diterima seperti apa adanya oleh orangtua di rumah juga akan cenderung untuk lari dari situasi riil. Dalam kondisi ini remaja yang secara psikologis mudah goyah dalam pendirian akan mudah terangsang untuk berperilaku menyimpang. Seperti hasil penelitian M. Brent Donnellan, Kali H. Trzesniewski, Richard W. Robins, Terrie E. Moffit dan Avshalom Caspi dalam penelitiannya Low Self Esteem is related to Aggression, Anti Social Behavior, and Delinquency self-esteem yang rendah cenderung meningkat agresinya pada umur 13.

C. Upaya Mengatasi Tawuran

1. Dengan memandang masa remaja merupakan periode storm and drang period (topan dan badai) dimana gejala emosi dan tekanan jiwa, sehingga perilaku mereka mudah menyimpang. Maka pelajar sendiri perlu mengisi waktu luangnya dengan kegiatan yang lebih bermanfaat, Seperti Mengikuti kegiatan kursus, berolahraga, mengikuti kegiatan ekstrakulikuler, dll.
2. Lingkungan keluarga juga dapat melakukan pencegahan terjadinya tawuran, dengan cara:
a. Mengasuh anak dengan baik.
– Penuh kasih sayang
– Penanaman disiplin yang baik
– Ajarkan membedakan yang baik dan buruk
– Mengembangkan kemandirian, memberi kebebasan bertanggung jawab
– Mengembangkan harga diri anak, menghargai jika berbuat baik atau mencapai prestasi tertentu.
b. Ciptakan suasana yang hangat dan bersahabat: Hal ini membuat anak rindu untuk pulang ke rumah.
c. Meluangkan waktu untuk kebersamaan
Orang tua menjadi contoh yang baik dengan tidak menunjukan perilaku agresif, seperti: memukul, menghina dan mencemooh.
d. Memperkuat kehidupan beragama
Yang diutamakan bukan hanya ritual keagamaan, melainkan memperkuat nilai moral yang terkandung dalam agama dan menerapkannya dalam kehidupan sehari – hari.
e. Melakukan pembatasan dalam menonton adegan film yang terdapat tindakan kekerasannya dan melakukan pemilahan permainan video game yang cocok dengan usianya.
f. Orang tua menciptakan suasana demokratis dalam keluarga, sehingga anak memiliki keterampilan social yang baik. Karena kegagalan remaja dalam menguasai keterampilan sosial akan menyebabkan ia sulit meyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Sehingga timbul rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku normatif (misalnya, asosial ataupun anti-sosial).Bahkan lebih ekstrem biasa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan, dsb.
3. Sekolah juga memiliki peran dalam mengatasi pencegahan tawuran, diantaranya:
a. Menyelenggarakan kurikulum Pendidikan yang baik adalah yang bisa Mengembangkan secara seimbang tiga potensi, yaitu berpikir, berestetika, dan berkeyakinan kepada Tuhan.
b. Pendirian suatu sekolah baru perlu dipersyaratkan adanya ruang untuk kegiatan olahraga, karena tempat tersebut perlu untuk penyaluran agresivitas
remaja.
c. Sekolah yang siswanya terlibat tawuran perlu menjalin komunikasi dan
koordinasi yang terpadu untuk bersama-sama mengembangkan pola
penanggulangan dan penanganan kasus. Ada baiknya diadakan pertandingan
atau acara kesenian bersama di antara sekolah-sekolah yang secara
“tradisional bermusuhan” itu.
4. LSM dan Aparat Kepolisian
LSM disini dapat melakukan kegiatan penyuluhan di sekolah-sekolah mengenai dampak dan upaya yang perlu dilakukan agar dapat menanggulangi tawuran. Aparat kepolisian juga memiliki andil dalam menngulangi tawuran dengan cara menempatkan petugas di daerah rawan dan melakukan razia terhadap siswa yang membawa senjata tajam.

DAFTAR PUSTAKA
A, Craig. Effect Of Violent Video Games On Aggressive Behavior, Aggressive Cognitiom, Aggressive Affect, Physiological Arousal, And Prososial Behavior. American Psychologycal Society 2001, (353-359).

Baron, R.A., dan Byrne D.B, 1994 Social Psychology. Under Standing Human Interaction. Boston: Allyn & Bacon.

Brent, M. Low Self Esteem is related to Aggression, Anti Social Behavior, and Delinquency. Research Article. American Psychological Society 2005, (328-335).

Bringham, J.C., Social Psychology. New York: Harper colligns. Publishers Inc.

Diekmann, Andreas. Social Status and Aggression. The Journal of Social Psichology 1996, 136(6), (761-768).

Prabowo, H. 1998. “Seri Diktat Kuliah : Pengantar Psikologi Lingkungan”. Depok
:FakultasPsikologi,UniversitasGunadarma.

Sarwono, S.W. 2002. “Psikologi Sosial (Individu dan Teori- teori Psikologi Sosial)”. Jakarta : Balai Pustaka.

Watson, D.L. 1994. Social Psychology. Science and Aplication. Illinois: Scott and Foresmanand Co.

Worchel, S. dan Cooper, J. 1986. Understanding Social Psychology.Illinois: The Dorsey Press.
http://www.liputan6.com.

http://www.karebosi.com

Kategori:PSIKOLOGI